Rabu, 24 Oktober 2012

ulama fenomenal pendidikan

SEKILAS TENTANG KIAI HAJI HASYIM ASY’ARI
1.      Riwayat Hidup dan Hasil Karya K.H.Hasyim Asy’ari
Lahir pada bulan Februari 1287H/1871 M di Gedang Jombang jawa timur. Ayahnya kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa Tengah, memiliki sebuah pesantren besar. Ayahnya adalah keturunan ke delapan dari penguasa kerajaan islam  Demak, Jaka Tingkir, sultan pajang pada tahun 1568, yang merupakan putra Brawijaya VI, penguasa kerajaan Majapahit pada seperempat pertama abad VXI di jawa. Kakek Hasyim, kiai Usman adalah pendiri sekaligus pengasuh pesantren gedang di jawa timur, dan juga seorang pemimpin tarekat pada akhir abad XIX. Pesantren kenamaan ini mendidik ratusan santri yang datang dari seluruh jawa.
Hasyim sendiri dilahirkan di Pesantren Gedang setelah ibunya Halimah, mengandung selama 14 bulan. Dalam pandangan masyarakat jawa, kehamilan yang sangat panjang mengindikasikan kecemerlangan bayi di masa depan. Orang tuanya lebih yakin akan isyarat ini, karena sang ibu telah bermimpi bulan purnama jatuh dari langit dan menimpa tepat jatuh di atas perutnya. Selanjutnya kedua orang tuanya menyaksikan bakat kepemimpinan yang dimiliki hasyim, yaitu ketika ia bermain dengan anak-anak di lingkungannya, ia selalu menjadi “Penengah”. Kapan pun ia melihat temannya melanggar aturan permainan, hasyim selalu akan menegurnya. Dia selalu membuat banyak teman-temannya senang bermain dengannya, dikarenakan sifatnya yang suka menolong dan melindungi.
Sebagaimana santri lain pada masanya, Hasyim mengenyam pendidikan pesantren sejak usia dini. Sebelum dia berumur 6 tahun. Kiai Usman lah yang merawatnya. Pada tahun 1876, hasyim harus meninggalkan kakeknya tercinta untuk mengikuti kedua orang tuanya ke Keras, sebuah desa di bagian selatan Jombang. Hingga mencapai usianya 15 tahun, ayahnya memberinya dasar-dasar Islam, khususnya membaca dan menghafal Al-Qur’an.[1] Banyak buku atau kitab yang dipelajarinya. Pada usia 15 tahun, ia mulai merantau mencari ilmu ke berbagai pondok pesantren yang ada saat itu, antara lain di Winosobo, Probolinggo, Pelangitan, Trenggilis, Madura hingga sampai ke Sidoarjo. Di sidoarjo ia “mengaji” kepada Kyai Ya’kub siwalan Panji pada tahun 1307 Hijriyah/1891 M. karena “kelebihannya” ia kemudian diambil menantu oleh kiayinya dan dinikahkan dengan puterinya yang bernama Khadijah, ketika ia berusia 21 tahun (1308H/1892M).
Tidak lama setelah pernikahannya, ia dan isterinya diajak oleh mertuanya menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah dan Madinah. Karena saat itu kendaraan yang digunakan untuk berangkat ke tanah suci Mekkah sangat langka dan terbatas, maka menjadi suatu kelaziman apabila para haji bermukim lama di tanah suci Mekkah. Demikian pula dengan Hasyim Asy’ari dan keluarganya.
Setelah 7 bulan berada di tanah suci Mekkah, Khadijah melahirkan anaknya yang pertama yang diberi nama Abdullah. Namun malang menimpanya, isteri yang dicintainya meninggal dunia yang disusul dengan meninggalnya Abdullah yang berumur 40 hari. Tak lama kemudian ia dan mertuanya kembali pulang ke Indonesia.
Tahun 1309H/1893 M. ia bersama adiknya yang bernama Amir kembali berangkat ke Mekkah untuk “mengaji” selama tujuh tahun di tanah suci mekkah. Dia mengaji kepada ulama besar ; Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, Syaikh Khatib Alminangkabawy dan Syaikh Said bin Abdul Rahman dalam berbagai jenis Ilmu, juga mengkaji kepada As-Sayyid Abbas al-Maliki al-Hasan tentang beberapa kitab hadits Nabawi. Kemudian beliau mengkaji kepada Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmasyi tentang ilmu-ilmu Syariat. Setelah bermukim setelah tujuh tahun beliau kembali pulang ke tanah airnya, Indonesia.
Sepulangnya dari mekkah, beliau mendirikan pondok pesantren Darul Ulum di Tebu Ireng Jombang tanggal 26 Rabi’ul Awwal 1318 H yang bercorak salafiyah Syafi’iyyah. Kini pondok tersebut, menjadi salah satu pondok yang disegani oleh pondok pesantren yang lain.[2] KH. Hasyim Asy’Ari meninggal pada tanggal 7 ramadhan 1366 H. di rumahnya di Tebuireng Jombang dan dikebumikan di dalam komplek pesantren yang dibangunnya.
Ada beberapa karya beliau termasuk pidato, ceramah atau nasihat beliau yang ditranskipsikan oleh orang lain. Yaitu antara lain :
a.       Adaabul ‘aalimi wa al-muta’allimin fii maa yahtaaju ilaihi-i-muta’allimi fii ahwaali ta’allumihi wama yatawaqqafu ‘alaihi-l-mu’allimu fii maqaamaati ta’liimihi.
b.      Ziyaadatu ta’liiqaatin, radda fiiha manzhubuumata-l-syaikhi ‘Abdillahi bni yaasiin alfasuruwaany alladzii yahiijuu bihaa ‘ala ahli jam’iyyati nahdhatul-‘ulamaa-i
c.       Al-tanbiihaatu-l-waajibaatilamn yashna’u-lmaulidi bi-l-munkaarati.
d.      Al-risaalatu ljamiati, syarakha fiiha ahwaalal mautaa wa asyrotal saati ma’a bayani mafhuumil sunnati wal bid’ati.
e.       Al-Nuurul mubiinu fii hujjati sayyidi-l-mursaliini bayyana fiihi ma’anaa mahabbatii lirosulillahi wama yata’allaqu biha minittiba’I waihyai sunnatihi.
f.       Haasyiyatunn alaa fathi-l-rahmaani bisyarkhi risaalati-l-waalyyiruslaanilisyaikhi-l-islaami zakariyyaa-l-anshaari.
g.      Al-duraru-l-munqatsirati wa-l-walaayati wamaa yat’allqu bihimaa mina-l-umuuri-l-muhimmati li-ahli-l-thariqaati.
h.      Al-tibyaanu fii-l-nahyi’an muqaatha’ati-l-ikhwaani, bayyana fiihi ahammiyata shilati-l-rahiimi.
i.        Al-risalah al-tauhiidatu, wahiyya risaalatu shafiiratin fii bayyani’aqiidati ahli-lsunnah wal-jamaa’ah.
j.        Al-qalla idu fii bayyani maa yajibu mina-l- “aqaaidi.
k.      Tiga penyelamat ; qanun Asasi-pidato-Nasehat penting
l.        Al-sya’latu : Pidato PB masyumi.
m.    Tiga penyelamat : donun asasi, pidato nasehat penting.
n.      Qanun asasi nahdlatul ulama.
o.      Khuttab pertama pada mukhtamar NU ke-17 (5 rajab 1366 H/ 24 Mei 1947).
p.      Haadzaa hadiitsu-l-mautaa wa Isyaararu-l-saa’ah
q.      Pesan-pesan hadratul syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar NU.[3]   
2.      Perjuangan dan pergerakan K.H.Hasyim Asy’ari
Hasyim menjadi seorang santri yang suka mengembara ketika berusia 15 tahun. Dalam usianya yang 15 tahun, dia mengunjungi tidak kurang dari 5 pesantren di jawa timur.  Pada tahun 1892, impian Hasyim untuk pergi ke Mekkah, baik untuk menunaikan ibadah haji maupun belajar menjadi kenyataan. Akhirnya ia berangkat, tidak lama menetap di Mekkah, anak dan isterinya meniggal dunia. Karena musibah tersebut kiai Hasyim Asy’ari memutuskan untuk pulang ke tanah air menengok keluarganya di Jawa. Pada tahun 1893, ia kembali ke Mekkah bersama adiknya, Anis dan menetap di sana selama 6 tahun.[4]
Sepulangnya dari Mekkah pada tahun 1899, Hasyim bukan lagi seorang yang bergantung pada bimbingan orang tua maupun ayah mertuanya. Untuk memimpin Pesantrennya, dia lebih mengutamakan kualitas lembaganya. Konsisten dengan pemikiran tersebut dia lebih memilih untuk mengajar di Gedang. Tempat kelahirannya.[5]
Pada tahun 1899 Hasyim memutuskan untuk membangun sebuah cabang Pesantren baru di daerah yang agak jauh, yaitu di Tebuireng. Langkah Hasyim mendirikan Pesantren di Tebuireng banyak ditertawakan dan dikritik oleh kiai-kiai lain, dikarenakan Tebuireng adalah sebuah desa yang jauh dari kota Jombang, dan wilayah tersebut tidak aman, karena di sana banyak penduduk yang tidak agamis, perampok, pemabuk, penjudi, serta prostitusi. Hasyim bermaksud untuk menyampaikan dan mengamalkan ilmu yang diperoleh sejauh ini, dan menjadikan Pesantren sebagai sebuah agent social of change. Dalam artian ia berkeinginan untuk mengubah struktur masyarakat. Dia menganggap Pesantren bukan sekedar tempat pendidikan atau lembaga moral dan relegius yaitu sebagai sebuah sarana penting untuk membuat perubahan mendasar di masyarakat secara luas.[6]
Desa Tebuireng ternyata terdapat sebuah pabrik gula, yaitu pabrik gula cukkir, kurang lebih berjarak 5 mil dari Pesantren Tebu Ireng, pabrik ini didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1853. Pada masa itu gula merupakan sumber terpenting perdagangan luar negeri bagi kaum kolonial. Pabrik ini menjadi simbol modernisasi bagi pemerintah kolonial. Dalam konteks ini berdirinya Tebuireng Vis-à-vis pabrik milik orang asing bisa dilihat dari berdirinya Pesantren tersebut merupakan perlawanan terhadap hegemoni Belanda. Hasyim bermaksud untuk tetap memelihara orientasi keagamaan dalam perjuangan. Dalam kenyataannya rencana ini diikuti dengan serangkaian aksi-aksi nonkooperatif, otonomi dan penolakan terhadap kaum kolonial baik oleh dirinya sendiri maupun para santrinya.[7]
Hasyim Asy’ari melihat bahwa perjuangan mewujudkan cita-citanya termasuk dalam bidang pendidikan, diperlukan adanya wadah berupa organisasi. Untuk tujuan tersebut, maka pada tahun 1926 ia bersama dengan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan sejumlah ulama lainnya di jawa timur mendirikan jamiah Nahdatul Ulama (NU). Sejak awal berdirinya kiai Hasyim dipercaya memimpin organisasi itu sebagai Rais Akbar. Pada tahun 1930, dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar Jamiah NU). Intisari dari Qanun Asasi itu mencakup : (1) latar belakang berdirinya Jamiah NU, (2) hakikat dan jati diri  jamiah NU, (3) potensi umat yang diharapkan akan menjadi pendukung NU, (4) perlunya  ulama bersama (ijtima), dan saling mengenal (ta’aruf) rukun bersatu (Ijtihad), dan saling mengasihi satu sama lain (ta’alluf) di dalam satu wadah yang dinamakan NU, dan (5) keharusan warga NU bertaklid pada salah satu pendapat imam mazhab yang empat : Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali.[8]
Karena demikian besar peran yang dilakukan oleh Hasyim Asy’Ari dalam membina dan menggerakkan masyarakat melalui pendidikan dan organisasi yang didirikannya, maka pada tahun 1937 ia didatangi oleh seorang Amtenar tinggi penguasa belanda yang akan memberikan tanda kehormatan pemerintah belanda kepadanya, yaitu berupa sebuah bintang emas. Namun kiai Hasyim asy’ari menolak dengan tegas pemberian itu, karena khawatir keikhlasan hatinya dalam berjuang akan terganggu dan ternodai oleh hal-hal yang bersifat material. Hal ini menunjukkan bahwa ia seorang ulama yang teguh dan kuat berpegang pada prinsip kebenaran yang diyakininya.[9]
Pada masa revolusi fisik melawan penjajahan Belanda, K.H. Hasyim Asy’ari dikenal karena ketegasannya terhadap penjajah dan seruan jihadnya yang menggelorakan para santri dan masyarakat Islam. ia mengajak mereka untuk berjihad melawan penjajah dan menolak kerja sama dengan penjajah.[10]
Demikian pula halnya di masa pemerintahan jepang. Pada tahun 1942, tatkala penguasa Jepang menduduki Jombang.  K.H.Hasyim Asy’ari ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan. Lalu diasingkan ke Mojokerto untuk ditahan bersama-sama dengan serdadu-serdadu sekutu. Berbulan-bulam ia mendekam dalam penjara tanpa mengetahui kesalahan apa yang dituduhkan atas dirinya.[11]
Hasyim Asy’ari pernah menjabat ketua besar Masyumi ketika NU menjadi anggota. Dalam suatu kesempatan Pidato di hadapan ulama seluruh jawa pada tanggal 30 juli 1946 di Bandung, kiai Hasyim Asy’ari melontarkan kritik tajam terhadap kekejaman Belanda, dan menghimbau agar tetap waspada terhadap politik bangsa Jepang. Kedua bangsa itu dicap kafir dan umat islam dilarang mempercayai orang-orang kafir. Karena peran dan jasanya ini, nama K.H. Hasyim Asy’ari diabadikan menjadi Universitas (1969) dalam lingkungan pondok pesantren Tebuireng.[12]    



[1] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara, Jakarta : Kencana,2006,h. 229
[2] Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Bandung : Angkasa,2003.h.354
[3]Ibid, h.355
[4] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara, Jakarta : Kencana,2006, h.230-232
[5] Ibid, h.234
[6]Ibid, h.234-235
[7] Ibid, h.235
[8] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta : Grafindo Persada, 2005, h.122
[9] Ibid, h.123
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid, h.124