SEKILAS TENTANG KIAI HAJI
HASYIM ASY’ARI
1. Riwayat Hidup dan Hasil Karya K.H.Hasyim
Asy’ari
Lahir pada bulan Februari 1287H/1871 M di Gedang Jombang jawa timur.
Ayahnya kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa Tengah, memiliki sebuah pesantren
besar. Ayahnya adalah keturunan ke delapan dari penguasa kerajaan islam Demak, Jaka Tingkir, sultan pajang pada tahun
1568, yang merupakan putra Brawijaya VI, penguasa kerajaan Majapahit pada
seperempat pertama abad VXI di jawa. Kakek Hasyim, kiai Usman adalah pendiri
sekaligus pengasuh pesantren gedang di jawa timur, dan juga seorang pemimpin
tarekat pada akhir abad XIX. Pesantren kenamaan ini mendidik ratusan santri
yang datang dari seluruh jawa.
Hasyim sendiri dilahirkan di Pesantren Gedang setelah ibunya Halimah,
mengandung selama 14 bulan. Dalam pandangan masyarakat jawa, kehamilan yang
sangat panjang mengindikasikan kecemerlangan bayi di masa depan. Orang tuanya
lebih yakin akan isyarat ini, karena sang ibu telah bermimpi bulan purnama
jatuh dari langit dan menimpa tepat jatuh di atas perutnya. Selanjutnya kedua
orang tuanya menyaksikan bakat kepemimpinan yang dimiliki hasyim, yaitu ketika
ia bermain dengan anak-anak di lingkungannya, ia selalu menjadi “Penengah”.
Kapan pun ia melihat temannya melanggar aturan permainan, hasyim selalu akan
menegurnya. Dia selalu membuat banyak teman-temannya senang bermain dengannya,
dikarenakan sifatnya yang suka menolong dan melindungi.
Sebagaimana santri lain pada masanya, Hasyim mengenyam pendidikan
pesantren sejak usia dini. Sebelum dia berumur 6 tahun. Kiai Usman lah yang
merawatnya. Pada tahun 1876, hasyim harus meninggalkan kakeknya tercinta untuk
mengikuti kedua orang tuanya ke Keras, sebuah desa di bagian selatan Jombang.
Hingga mencapai usianya 15 tahun, ayahnya memberinya dasar-dasar Islam,
khususnya membaca dan menghafal Al-Qur’an.[1] Banyak
buku atau kitab yang dipelajarinya. Pada usia 15 tahun, ia mulai merantau
mencari ilmu ke berbagai pondok pesantren yang ada saat itu, antara lain di
Winosobo, Probolinggo, Pelangitan, Trenggilis, Madura hingga sampai ke
Sidoarjo. Di sidoarjo ia “mengaji” kepada Kyai Ya’kub siwalan Panji pada tahun
1307 Hijriyah/1891 M. karena “kelebihannya” ia kemudian diambil menantu oleh
kiayinya dan dinikahkan dengan puterinya yang bernama Khadijah, ketika ia
berusia 21 tahun (1308H/1892M).
Tidak lama setelah pernikahannya, ia dan isterinya diajak oleh mertuanya
menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah dan Madinah. Karena saat itu
kendaraan yang digunakan untuk berangkat ke tanah suci Mekkah sangat langka dan
terbatas, maka menjadi suatu kelaziman apabila para haji bermukim lama di tanah
suci Mekkah. Demikian pula dengan Hasyim Asy’ari dan keluarganya.
Setelah 7 bulan berada di tanah suci Mekkah, Khadijah melahirkan anaknya
yang pertama yang diberi nama Abdullah. Namun malang menimpanya, isteri yang
dicintainya meninggal dunia yang disusul dengan meninggalnya Abdullah yang
berumur 40 hari. Tak lama kemudian ia dan mertuanya kembali pulang ke
Indonesia.
Tahun 1309H/1893 M. ia bersama adiknya yang bernama Amir kembali berangkat
ke Mekkah untuk “mengaji” selama tujuh tahun di tanah suci mekkah. Dia mengaji
kepada ulama besar ; Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, Syaikh Khatib
Alminangkabawy dan Syaikh Said bin Abdul Rahman dalam berbagai jenis Ilmu, juga
mengkaji kepada As-Sayyid Abbas al-Maliki al-Hasan tentang beberapa kitab
hadits Nabawi. Kemudian beliau mengkaji kepada Syaikh Muhammad Mahfudz bin
Abdullah at-Tirmasyi tentang ilmu-ilmu Syariat. Setelah bermukim setelah tujuh
tahun beliau kembali pulang ke tanah airnya, Indonesia.
Sepulangnya dari mekkah, beliau mendirikan pondok pesantren Darul Ulum di
Tebu Ireng Jombang tanggal 26 Rabi’ul Awwal 1318 H yang bercorak salafiyah
Syafi’iyyah. Kini pondok tersebut, menjadi salah satu pondok yang disegani oleh
pondok pesantren yang lain.[2] KH.
Hasyim Asy’Ari meninggal pada tanggal 7 ramadhan 1366 H. di rumahnya di Tebuireng
Jombang dan dikebumikan di dalam komplek pesantren yang dibangunnya.
Ada beberapa karya beliau termasuk pidato, ceramah atau nasihat beliau
yang ditranskipsikan oleh orang lain. Yaitu antara lain :
a. Adaabul ‘aalimi wa al-muta’allimin fii
maa yahtaaju ilaihi-i-muta’allimi fii ahwaali ta’allumihi wama yatawaqqafu
‘alaihi-l-mu’allimu fii maqaamaati ta’liimihi.
b. Ziyaadatu ta’liiqaatin, radda fiiha
manzhubuumata-l-syaikhi ‘Abdillahi bni yaasiin alfasuruwaany alladzii yahiijuu
bihaa ‘ala ahli jam’iyyati nahdhatul-‘ulamaa-i
c. Al-tanbiihaatu-l-waajibaatilamn
yashna’u-lmaulidi bi-l-munkaarati.
d. Al-risaalatu ljamiati, syarakha fiiha
ahwaalal mautaa wa asyrotal saati ma’a bayani mafhuumil sunnati wal bid’ati.
e. Al-Nuurul mubiinu fii hujjati
sayyidi-l-mursaliini bayyana fiihi ma’anaa mahabbatii lirosulillahi wama
yata’allaqu biha minittiba’I waihyai sunnatihi.
f. Haasyiyatunn alaa fathi-l-rahmaani
bisyarkhi risaalati-l-waalyyiruslaanilisyaikhi-l-islaami zakariyyaa-l-anshaari.
g. Al-duraru-l-munqatsirati wa-l-walaayati
wamaa yat’allqu bihimaa mina-l-umuuri-l-muhimmati li-ahli-l-thariqaati.
h. Al-tibyaanu fii-l-nahyi’an
muqaatha’ati-l-ikhwaani, bayyana fiihi ahammiyata shilati-l-rahiimi.
i.
Al-risalah al-tauhiidatu,
wahiyya risaalatu shafiiratin fii bayyani’aqiidati ahli-lsunnah wal-jamaa’ah.
j.
Al-qalla idu fii bayyani
maa yajibu mina-l- “aqaaidi.
k. Tiga penyelamat ; qanun
Asasi-pidato-Nasehat penting
l.
Al-sya’latu : Pidato PB
masyumi.
m. Tiga penyelamat : donun asasi, pidato
nasehat penting.
n. Qanun asasi nahdlatul ulama.
o. Khuttab pertama pada mukhtamar NU ke-17
(5 rajab 1366 H/ 24 Mei 1947).
p. Haadzaa hadiitsu-l-mautaa wa
Isyaararu-l-saa’ah
q. Pesan-pesan hadratul syaikh KH. Hasyim
Asy’ari, Rais Akbar NU.[3]
2. Perjuangan dan pergerakan K.H.Hasyim
Asy’ari
Hasyim menjadi seorang santri yang suka mengembara ketika berusia 15
tahun. Dalam usianya yang 15 tahun, dia mengunjungi tidak kurang dari 5
pesantren di jawa timur. Pada tahun
1892, impian Hasyim untuk pergi ke Mekkah, baik untuk menunaikan ibadah haji
maupun belajar menjadi kenyataan. Akhirnya ia berangkat, tidak lama menetap di Mekkah,
anak dan isterinya meniggal dunia. Karena musibah tersebut kiai Hasyim Asy’ari memutuskan
untuk pulang ke tanah air menengok keluarganya di Jawa. Pada tahun 1893, ia
kembali ke Mekkah bersama adiknya, Anis dan menetap di sana selama 6 tahun.[4]
Sepulangnya dari Mekkah pada tahun 1899, Hasyim bukan lagi seorang yang
bergantung pada bimbingan orang tua maupun ayah mertuanya. Untuk memimpin
Pesantrennya, dia lebih mengutamakan kualitas lembaganya. Konsisten dengan
pemikiran tersebut dia lebih memilih untuk mengajar di Gedang. Tempat
kelahirannya.[5]
Pada tahun 1899 Hasyim memutuskan untuk membangun sebuah cabang Pesantren baru
di daerah yang agak jauh, yaitu di Tebuireng. Langkah Hasyim mendirikan Pesantren
di Tebuireng banyak ditertawakan dan dikritik oleh kiai-kiai lain, dikarenakan
Tebuireng adalah sebuah desa yang jauh dari kota Jombang, dan wilayah tersebut
tidak aman, karena di sana banyak penduduk yang tidak agamis, perampok,
pemabuk, penjudi, serta prostitusi. Hasyim bermaksud untuk menyampaikan dan
mengamalkan ilmu yang diperoleh sejauh ini, dan menjadikan Pesantren sebagai
sebuah agent social of change. Dalam artian ia berkeinginan untuk
mengubah struktur masyarakat. Dia menganggap Pesantren bukan sekedar tempat
pendidikan atau lembaga moral dan relegius yaitu sebagai sebuah sarana penting
untuk membuat perubahan mendasar di masyarakat secara luas.[6]
Desa Tebuireng ternyata terdapat sebuah pabrik gula, yaitu pabrik gula
cukkir, kurang lebih berjarak 5 mil dari Pesantren Tebu Ireng, pabrik ini
didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1853. Pada masa itu gula merupakan
sumber terpenting perdagangan luar negeri bagi kaum kolonial. Pabrik ini
menjadi simbol modernisasi bagi pemerintah kolonial. Dalam konteks ini berdirinya
Tebuireng Vis-à-vis pabrik milik orang asing bisa dilihat dari berdirinya Pesantren tersebut
merupakan perlawanan terhadap hegemoni Belanda. Hasyim bermaksud untuk tetap
memelihara orientasi keagamaan dalam perjuangan. Dalam kenyataannya rencana ini
diikuti dengan serangkaian aksi-aksi nonkooperatif, otonomi dan penolakan
terhadap kaum kolonial baik oleh dirinya sendiri maupun para santrinya.[7]
Hasyim Asy’ari melihat bahwa perjuangan mewujudkan cita-citanya termasuk
dalam bidang pendidikan, diperlukan adanya wadah berupa organisasi. Untuk
tujuan tersebut, maka pada tahun 1926 ia bersama dengan K.H. Abdul Wahab
Hasbullah dan sejumlah ulama lainnya di jawa timur mendirikan jamiah Nahdatul
Ulama (NU). Sejak awal berdirinya kiai Hasyim dipercaya memimpin organisasi itu
sebagai Rais Akbar. Pada tahun 1930, dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku
Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. pokok-pokok pikiran
inilah yang kemudian dikenal Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar
Jamiah NU). Intisari dari Qanun Asasi itu mencakup : (1) latar belakang
berdirinya Jamiah NU, (2) hakikat dan jati diri
jamiah NU, (3) potensi umat yang diharapkan akan menjadi pendukung NU,
(4) perlunya ulama bersama (ijtima), dan
saling mengenal (ta’aruf) rukun bersatu (Ijtihad), dan saling mengasihi satu sama
lain (ta’alluf) di dalam satu wadah yang dinamakan NU, dan (5) keharusan warga
NU bertaklid pada salah satu pendapat imam mazhab yang empat : Hanafi, Maliki,
Syafi’I, dan Hambali.[8]
Karena demikian besar peran yang dilakukan oleh Hasyim Asy’Ari dalam membina
dan menggerakkan masyarakat melalui pendidikan dan organisasi yang
didirikannya, maka pada tahun 1937 ia didatangi oleh seorang Amtenar tinggi
penguasa belanda yang akan memberikan tanda kehormatan pemerintah belanda
kepadanya, yaitu berupa sebuah bintang emas. Namun kiai Hasyim asy’ari menolak
dengan tegas pemberian itu, karena khawatir keikhlasan hatinya dalam berjuang
akan terganggu dan ternodai oleh hal-hal yang bersifat material. Hal ini
menunjukkan bahwa ia seorang ulama yang teguh dan kuat berpegang pada prinsip
kebenaran yang diyakininya.[9]
Pada masa revolusi fisik melawan penjajahan Belanda, K.H. Hasyim Asy’ari dikenal karena
ketegasannya terhadap penjajah dan seruan jihadnya yang menggelorakan para
santri dan masyarakat Islam. ia mengajak mereka untuk berjihad melawan penjajah
dan menolak kerja sama dengan penjajah.[10]
Demikian pula halnya di masa pemerintahan jepang. Pada tahun 1942, tatkala
penguasa Jepang menduduki Jombang.
K.H.Hasyim Asy’ari ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan. Lalu
diasingkan ke Mojokerto untuk ditahan bersama-sama dengan serdadu-serdadu
sekutu. Berbulan-bulam ia mendekam dalam penjara tanpa mengetahui kesalahan apa
yang dituduhkan atas dirinya.[11]
Hasyim Asy’ari pernah
menjabat ketua besar Masyumi ketika NU menjadi anggota. Dalam suatu kesempatan
Pidato di hadapan ulama seluruh jawa pada tanggal 30 juli 1946 di Bandung, kiai
Hasyim Asy’ari melontarkan kritik tajam terhadap kekejaman Belanda, dan
menghimbau agar tetap waspada terhadap politik bangsa Jepang. Kedua bangsa itu
dicap kafir dan umat islam dilarang mempercayai orang-orang kafir. Karena peran
dan jasanya ini, nama K.H. Hasyim Asy’ari diabadikan menjadi Universitas (1969)
dalam lingkungan pondok pesantren Tebuireng.[12]
[1] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara, Jakarta :
Kencana,2006,h. 229
[2] Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan,
Bandung : Angkasa,2003.h.354
[3]Ibid, h.355
[4] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara, Jakarta :
Kencana,2006, h.230-232
[5] Ibid, h.234
[6]Ibid, h.234-235
[7] Ibid, h.235
[8] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta :
Grafindo Persada, 2005, h.122
[9] Ibid, h.123
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid, h.124